Dari Penjara ke Penjara *)
30 Maret 2006
Surat dari ENGGANG-10 (Edisi V/2005)
Oleh: Marim Purba
***
Beberapa minggu yang lalu, Koran PosMetro Siantar memuat komentar Grace Christiane, anggota DPRD Pematangsiantar tentang membludaknya pendaftar seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Katanya, “Mungkin menjadi PNS dianggap lebih bergengsi.” Sementara di Koran Kompas terlihat foto beberapa wanita di Bandung yang menangis, terjepit antrian pengambilan formulir CPNS. Mengapa menjadi PNS (sangat) penting, dan bagaimana konsepsi kita tentang kerja?
PNS, “Tango”
Menurut hemat saya PNS menjadi fenomena menarik. Sebab pada awalnya PNS direkrut untuk menyatukan Indonesia yang baru dalam satu wawasan kenegaraan dan pemerintahan. Saat itu Indonesia memerlukan orang untuk memutar birokrasi di wilayah yang luas dan beragam. Kehendak politik kemudian menyebabkan PNS dimobilisasi bukan sekedar mesin birokrasi, tapi juga mesin politik untuk mempertahankan kekuasaan. Akhirnya PNS disorientasi, salah arah dan bias.
Dalam perjalanan kemudian, ketika peran swasta sudah tumbuh dan menjadi lebih besar, PNS tak lagi dipandang sebagai ‘tiang’ utama, khususnya dalam beberapa pelayanan publik. Listrik sudah ada (perusahaan) yang mengurus, tak perlu PNS. Air Minum sudah ada (perusahaan) yang mengurus, dan tak perlu PNS. Demikian juga Rumah Sakit, pelayanan Telepon, Angkutan Darat (Kereta Api, Bus), Angkutan Udara (tidak hanya Garuda, sudah banyak maskapai swasta), Angkutan Laut (Pelni), dll. Dibanyak kegiatan PNS tak lagi diperlukan.
Bahkan Dinas Kebersihan seyogianya tak memerlukan PNS. Sebab PNS yang parlente tak suka dengan sampah yang jorok. Selama ini Tenaga Harian Lepas yang membersihkan kota. Kebersihan bisa diserahkan kepada swasta. Toh, iuran kebersihan dan subsidi bisa diberikan untuk operasional kebersihan. Di penjara ini sudah terbukti, tak ada perhatian PNS terhadap masalah sampah. Peran dan kerjasama (swasta) Napi yang akhirnya mengelola sampah; mengatur pembuangannya, mengendalikannya, dan membuat sampah menjadi berharga (proses dekomposisi).
Itulah sebabnya, ketika ada kesempatan membina sekitar 5.300 PNS di Pematangsiantar, saya tak ‘usil’ membuka penerimaan PNS. Sebab hanya 800 orang yang memiliki jabatan struktural, sisanya sebanyak 4.500 orang hanya staf biasa, sebagian hanya duduk di warung kopi. Penerimaan hanya diperlukan bagi yang kompetensinya (karena keahliannya) tak bisa tergantikan. Sisanya, lagi-lagi, ‘nongkrong’ di Jalan Diponegoro, di Pasar Horas, dan menghadiri banyak sekali pesta-pesta (maklum, halak kita melulu pesta). Kebutuhan akan PNS harus dihitung berdasarkan perbandingannya dengan jumlah penduduk, luas areal wilayah perkotaan, dan bidang pelayanan yang akan dikerjakan.
Lalu mengapa banyak orang yang berbondong-bondong ingin menjadi PNS? Padahal kecil kemungkinan dapat jabatan, gaji kecil dan lama naik pangkat. Kebanyakan PNS yang gila jabatan, akhirnya sakit ketika pensiun. Mungkin sebagaimana komentar di PosMetro, PNS menjadi pertaruhan bagi ‘gengsi’. Sebab etos kerja yang dianggap paling bergengsi ialah “gaji sedikit, tapi terjamin sampai hari tua.” Konsepsi tentang ‘kerja’ yang keliru ini mengakibatkan banyak PNS yang tidak produktif, tidak kreatif, cari jalan pintas (pesimis pada ‘gaji’ kecil, tapi optimis ‘berpenghasilan’ besar). Etos kerja PNS kita sudah jauh tertinggal dibandingkan dengan swasta nasional, apalagi swasta multinasional.
Lihatlah beberapa PNS yang terjebak dalam rutinitas, dan tak mau buang waktu kerja serius. Masuk pagi, ikut apel, duduk ngobrol, cari makan siang, lalu pulang – disebut PNS “Tango” – yaitu, bunyi bel “Tang!”, lalu “Go!” (pulang). Tentu saja tak semua PNS kacau, masih banyak yang disiplin dan punya integritas menjadi abdi negara.. Ayah saya bersyukur, karena pensiun dari PNS, merasa masih sehat lalu kerja di swasta sampai sekarang di usia 69 tahun. Juga kita bersyukur, karena sedang (pernah) terpidana, dan tak bisa ikut seleksi CPNS. Supaya tidak menambah berat beban negara!
Penjara terbuka jika kesempatan kerja tertutup.
Setidaknya ada beberapa motivasi orang berebut menjadi PNS; Pertama, karena menganggap gengsi PNS masih tinggi, tak capek kerja tapi terjamin sampai hari tua (pensiun); Kedua, karena tak mampu bersaing dengan dunia kerja swasta diluar PNS; Ketiga, karena lapangan pekerjaan semakin sempit. Bagaimana sebenarnya kondisi ketersediaan lapangan kerja?
Sekarang jumlah angkatan kerja Indonesia 106,9 juta, dan yang setengah menganggur sudah mencapai 40,1 juta orang (bekerja kurang dari 35 jam seminggu), dan yang benar-benar menganggur sebanyak 11,6 juta orang (termasuk kita yang berada di penjara). Angka laju penciptaan lapangan kerja tak mampu mengimbangi laju pertumbuhan angkatan kerja yang terus meningkat. Tahun 1997 angka pengangguran masih 4,7% tetapi kemudian terus meningkat sampai 10,9% (2005). Artinya, jumlah penganggur terbuka tahun ini diperkirakan meningkat menjadi 12,6 juta orang. Sementara penganggur terbuka di Negara Asia lainnya jauh dibawah Indonesia; Vietnam (6,1%), Malaysia (3,4%) dan Thailand (1,5%).
Gawatnya, duapertiga penganggur yang ada sekarang adalah golongan usia muda, 15-24 tahun. Ini mencemaskan karena dapat memicu keresahan dan gejolak sosial. Tambahan lagi, ternyata penganggur tidak hanya mereka yang kurang terdidik, tetapi juga angkatan kerja terdidik. Banyak orangtua tak percaya lagi dengan produk pendidikan tinggi, akhirnya jumlah pendaftar siswa baru di PT swasta dan negeri terus menurun.
Pengangguran berkaitan erat dengan pertumbuhan ekonomi. Tahun 1994 pertumbuhan ekonomi yang naik 1% akan menciptakan lapangan kerja bagi 375.000 orang. Tetapi angka itu terus menurun karena pertumbuhan 1% hanya menyerap 178.000 orang. Pertumbuhan ekonomi yang diharapkan tentunya yang berkualitas, yaitu bersumber investasi dan ekspor, jangan berbasis pada konsumsi dan hutang. Pemerintahan SBY bertekad akan mengurangi angka pengangguran menjadi 5,1% pada tahun 2009, melalui kebijakan yang mendukung pertumbuhan (pro growth), penciptaan lapangan kerja (pro-job creation), dan berpihak pada orang miskin (pro-poor).
Tapi sebaliknya, menurut BPS kenaikan BBM rata-rata 126% pada Oktober 2005 akan menciptakan pengangguran 426.000 orang. Padahal menurut asosiasi pengusaha, kenaikan BBM bahkan sudah mengakibatkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sampai 700.000 orang. Lalu, bagaimana jika diikuti rencana kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) awal tahun 2006? Bukankah akan lebih banyak industri yang megap-megap, dan akhirnya melahirkan pengangguran baru. Mungkin kita harus memeriksa data dan angka dibagian register LP ini, apakah ada kaitan antara kenaikan jumlah tahanan dengan kenaikan BBM dan Listrik? Menurut hemat saya, kemiskinan akan melahirkan kerawanan sosial, dan memicu kejahatan. Jika lapangan kerja tertutup, tahanan akan semakin banyak, dan pintu penjara tetap menerima dengan tangan terbuka …
Menjual Matahari
Secara iseng saya bertanya kepada teman-teman para Napi (diwawancara secara acak dari sel ke sel ), “Apa rencana Anda setelah keluar dari penjara?” Hanya sebagian kecil (3%) yang mempunyai rencana, selebihnya sebagian besar tak punya rencana. Mengapa tidak punya rencana terhadap masa depan (setelah keluar penjara)? Sebagian besar (70%) alasannya adalah tidak punya ketrampilan, dan sisanya menyebutkan alasannya yaitu ‘gamang’ menghadapi keadaan diluar 10% (percepatan informasi, kemajuan teknologi, dll), dan sisanya ‘tidak ada modal’ untuk memulai usaha.
Memulai kerja memang tidak mudah, tapi diatas semua kebutuhan diatas (ketrampilan, penguasaan teknologi, dan modal) sangat diperlukan motivasi, ketekunan kerja, berpikir positip dan bertindak kreatif, serta ketahanan menghadapi tekanan. Jika tak bisa kerja disektor formal, mari mengisi sektor informal. Prof. Bungaran Saragih mengatakan negara ini sudah bangkrut, tapi yang membuatnya bertahan adalah sektor informal, dan bagian terbesar adalah karena peran sektor pertanian. Tapi masih begitu banyak lahan yang diterlantarkan. Itulah sebabnya ‘di penjara ini saya belajar bertani, dari para petani yang terpenjara’.
Adler Haymans Manurung (44 thn), anak kelahiran Porsea yang gigih sekolah dan giat bekerja, menulis buku laris “Wirausaha Bisnis Usaha Kecil Menengah” yang mungkin patut kita baca. Dalam pengantar buku tersebut Prof. Martani Huseini menyebutkan bahwa hambatan bagi pemula adalah bagaimana memulai suatu usaha, lalu bagaimana memposisikan dalam persaingan agar tidak mati, dan kemudian bagaimana menjaga agar keberlangsungan bisnis bisa tetap terjaga. Lagi-lagi memerlukan motivasi dan kerja keras.
Tapi, mari kita lihat seorang pemuda di Jawa Timur. Dalam masa menganggur dia berpikir keras, dan kemudian ketekunannya membuahkan hasil. Dia menawarkan kepada para turis dengan bahasa Inggeris cas-cis-cus seadanya, untuk memandu/menemani turis yang akan mendaki gunung. Sang pemuda bangun dini hari, siapkan sarapan sang turis, dan bawakan perlengkapannya, kemudian menemani turis tersebut melihat matahari terbit (seakan bola besar matahari berada diatas kepala) di Gunung Bromo. Pekerjaan tersebut dilakukannya dengan tekun dan sekarang dia sudah sukses. Kisahnya dimuat dalam tulisan tentang orang-orang muda yang gigih dan sukses, dalam sebuah buku dengan judul “Menjual Matahari”.
Pembina(sa)an
Saya tak tahu kita semua akan jadi apa setelah keluar dari penjara. “Pikiran manusia yang terbatas tak mampu melampaui rencana Tuhan yang tak terbatas”. Tapi kebutuhan untuk tekun, gigih, dan terampil diluar penjara, harus dimulai dari latihan di dalam penjara. “Menganggur jangan sendiri, dan sendiri jangan menganggur”.
Teman disebelah yang ikut senam Jumat dengan goyang malas-malasan nyelutuk, “Aku bosan terus menerus mendengar pidato yang mengatakan : wahai anak didik .. wahai warga binaan! Karena aku tak pernah merasa dididik apalagi dibina”, katanya dengan lirih. Memang, sudah terasa tipis bedanya antara pembinaan dengan ‘pembinasaan’.
Lalu, apa yang akan kau lakukan di luar penjara jika tak dapat binaan ketrampilan di dalam penjara? Dia menjawab ketus, “Ya, balik lagi ke penjara…”.
Bah, dari penjara ke penjara? Ada-ada saja.
*) Ditulis saat sendiri, dan tidak menganggur.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home