Friday, April 21, 2006

'Selamat Imlek Gie'

Surat dari ENGGANG-10 (Edisi II/2005)
Oleh : Marim Purba
(Pemrakarsa penayangan film Gie di LP Kls II-A Pematangsiantar)


***
Seorang anak muda pendiam terlihat berjalan lurus menyandang tas berisi buku. Tampangnya seperti umumnya mahasiswa di tahun 65-an, celana panjang sederhana dan baju warna putih tangan pendek. Matanya tajam agak sipit dan wajahnya terlihat serius, melangkah tegas di Jalan Kebon Jeruk, daerah pecinan Glodok – Jakarta. Melintasi beragam aktivitas keseharian masyarakat kecil yang selalu menjadi perhatiannya.


Dibagian lain, sewaktu menjadi dosen didepan para mahasiswa baru Fakultas Sastra Universitas Indonesia, sang pemuda itu berkata lantang, “Nama saya Soe Hok Gie. Panggil saya Soe atau Gie, tapi jangan panggil saya Bapak!” Saya dan penonton lain tertawa. Pernyataan lugu yang menjadi sisi lain dari keseriusannya.

Gambaran diatas adalah potongan film GIE yang telah saya tonton. Film produksi Miles kerjaan anak-anak muda Indonesia, yang sejak 14 Juli 2005 lalu serentak diputar di 30 bioskop di 10 kota besar Indonesia. Saya menonton dengan rasa penasaran, karena film ini diangkat dari buku Catatan Seorang Demonstran, buku yang sejak tahun 1983 menjadi ‘bacaan wajib’ aktivis mahasiswa semasa kami kuliah di Bandung. Buku tersebut ditulis langsung dalam bentuk catatan harian oleh Alm. Soe Hok Gie sejak usia 15 tahun, dan catatannya kemudian menjadi sumber inspirasi saya dalam berjuang.

***
Soe Hok Gie memang cerdas, tajam dan kukuh. Kata-kata yang menjadi ikon keyakinan terhadap prinsip ditulisnya, “Saya telah memutuskan akan bertahan dengan prinsip-prinsip saya. Lebih baik saya diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan.” Dibagian lain ia menulis : “… nasib baik ialah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Berbahagialah mereka yang mati muda.”

Soe Hok Gie lahir 17 Desember 1942, adik sosiolog Dr. Arief Budiman (Soe Hok Djin), dosen Univ. Kristen Satyawacana - Salatiga yang sekarang sudah hijrah ke Australia. Ayahnya Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan adalah redaktur berbagai surat kabar Tjin Po, Panorama, Kung Yung Pao, dan terakhir redaktur harian Sadar di Jakarta.

Gie kecil mulai sekolah di Sin Hwa School, sebuah sekolah khusus keturunan Cina, kemudian masuk ke SMP Strada dan ke SMA Kanisius, Jakarta. ‘Perlawanan’nya dimulai sejak muda, saat Gie berumur 14 tahun lebih 3 bulan, ketika ia protes dengan penurunan nilai ujian yang menurutnya dilakukan oleh guru secara sewenang-wenang. Dalam catatannya dituliskannya “Hari ini adalah hari ketika dendam mulai membatu … Dendam yang disimpan, lalu turun ke hati, mengeras bagai batu.” Begitu ekspresif dan puitik! Pemikiran dan sepak terjangnya tercatat dalam catatan hariannya; tentang hidup, cinta dan kematian. Sejak itu Gie aktif menulis dan artikelnya yang merupakan kritik sosial terhadap kekuasaan dan korupsi dimuat diberbagai surat kabar.
Sejak kecil Soe atau Gie – panggilan akrabnya, telah menyatu dengan berbagai buku. Dalam usia remaja dia sudah melahap buku-buku karya Goethe atau Rabindranath Tagore. Gie juga terampil menuangkan pikirannya secara tertulis tentang pandangan hidupnya, tentang politik dan masalah sosial disekitarnya. Sikap yang dibangun dari bacaannya akhirnya membentuk pribadi Gie yang kristis, kukuh dalam mempertahankan nilai kemanusiaan dan kebenaran.

Tahun 1961 Gie masuk ke Fakultas Sastra Universitas Indonesia, dan terlibat dalam pergolakan pergerakan mahasiswa. Gie yang gemar mendaki gunung ikut mendirikan kelompok Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) UI. Gie menjadi orang terdepan dalam demonstrasi-demonstrasi menentang kekuasaan yang korup, turun ke jalan melakukan aksi Tritura dan ikut serta dalam menjatuhkan Soekarno. Terhadap teman-teman demonstran yang setelah selesai berjuang kemudian terbawa dalam ‘menikmati kekuasaan’ Gie juga melakukan protes dengan mengirimkan mereka gincu dan cermin sebagai simbol fungsi DPR yang banci. Gie termasuk orang yang pertama melakukan kritik terhadap Orde Baru.

Gie memang ‘anak Cina’ yang mencintai bangsa ini, menjunjung tinggi kemanusiaan dan non diskriminatif. Nasionalismenya lebih-lebih dari mereka yang mengaku ‘pribumi.’ Dalam catatannya dituliskan : “Yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan adalah dapat mencintai, dapat iba hati, dan merasai kedukaan…” Gie adalah fenomena dan sekaligus ironi, karena dalam kesendirian perjuangannya ia mati muda, meninggal dunia di puncak Gunung Semeru sehari sebelum usianya yang ke 27. “…. Saya ingin merasakan kehidupan kasar dan keras … diusap angin dingin seperti pisau, atau berjalan memotong hutan dan mandi di sungai kecil … orang-orang seperti kita ini tidak pantas mati ditempat tidur,” demikian salah satu catatannya.
Pada 8 Desember 1969, sebelum Gie berangkat mendaki gunung, ia sempat menuliskan catatannya : “…Saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin mengobrol-ngobrol pamit sebelum ke Semeru. Dengan Maria, Rina dan juga ingin membuat acara yang intim dengan Sunarti …” Gie dimakamkan tanggal 24 Desember 1969 di Menteng Pulo, dan dua hari kemudian dipindah ke Pekuburan Kober, Tanah Abang. Pada tahun 1975 pemerintah membongkar Pekuburan Kober dan harus dipindah lagi. Tapi teman-temannya sempat ingat ‘pesan’ Gie dan akhirnya mayatnya dibakar dan abunya disebarkan di puncak Gunung Pangrango.

***
Soe Hok Gie telah tiada, tapi dihidupkan kembali melalui layar lebar dengan judul film GIE, disutradarai oleh pemuda berbakat Riri Riza (35 tahun), lulusan Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Selama kurang lebih 3 (tiga) tahun ia mengerjakan skenarionya dengan delapan kali perubahan disana-sini. Menurut Riri pembuatan film ini yang paling melelahkan, dengan 70 hari kerja pengambilan gambar, menghasilkan durasi 4,5 jam dan harus diedit sedemikian rupa menjadi 147 menit. Waktu yang terbilang lama untuk sebuah film lokal. Pengambilan gambar di Jakarta, Semarang, Yogya, Gunung Merapi dan lembah Mandalawangi. Walaupun susah mencari pemeran ‘yang benar-benar Cina’ tapi penampilan Nicholas Saputra bagus. Menurut saya peran yang dimainkan Sita Nursanti menarik, juga ketika melantunkan lagu Donna Donna (Joan Baez), lagu kesukaan Soe Hok Gie. Sita Nursanti memang berbasis sebagai penyanyi. Soundtrack judul lagu GIE diciptakan Eros Chandra.

Mira Lesmana berkomentar, “Soe Hok Gie adalah sosok ideal laki-laki…” Film ini adalah sebuah keberanian karena mempunyai tema ‘politik’ yang belum tentu komersil. Tapi Mira percaya bahwa “masih banyak anak muda yang tidak hanya sekedar ke mall saja, masih ada hero. Ada elemen-elemen kemanusiaan yang mungkin kita lupakan, dan bisa kita temukan di film GIE,” urai Mira. Walaupun tidak komersial tetapi sang produser optimis bisa juga ‘booming.’

***

Ketika keluar bioskop saya melihat bahwa sebagian besar penonton adalah mahasiswa keturunan Cina. Saya tidak bisa menyimpulkan apa-apa. Tersisa pertanyaan apakah film ini menarik bagi aktivis mahasiswa yang sekarang telah membiaskan reformasi? Setidaknya film ini bisa menumbuhkan nasionalisme para mahasiswa warga keturunan Cina untuk lebih berperan aktif dalam masalah bangsa ini.

Gie bukan satu-satunya. Jauh sebelumnya sudah banyak keturunan Cina yang punya komitmen kuat tentang kebangsaan. Kwee Thiam Tjing (Tjamboek Berdoeri) pada 1947 menggambarkannya tentang tekanan Belanda dan Jepang oleh golongan “djamino dan djoeliteng” terhadap warga Tionghoa dalam buku “Indonesia dalam api dan bara,” dll, dst. Sebagaimana John Maxwell (Australia) yang telah melakukan riset selama 10 tahun tentang Soe Hok Gie mengatakan, “Gie tidak terlalu hebat. Tapi dia punya kemauan melibatkan diri dalam pergerakan. Dia selalu ingin tahu apa yang terjadi dengan bangsanya.” Soe Hok Gie adalah gambaran bahwa pada dasarnya semua manusia sama hak dan martabatnya. Jika manusia Indonesia mempunyai hak sama, maka semuanya juga terpanggil untuk berbuat sesuatu bagi bangsa ini. Semua adalah pemilik Republik yang sah, tidak ada yang menumpang – bahkan bagi mereka yang dipenjara sekalipun. Semua orang wajib menjaga martabat dan harkatnya, dan semua tindakan kesombongan kekuasaan - apalagi semua bentuk kekerasan yang menurunkan harkat kemanusiaan kita - haruslah disingkirkan.

Gie mengajarkan kepada kita semua yang berada dalam lingkungan lembaga kemasyarakatan betapa solidaritas dan kesetiakawanan terhadap sesama harus selalu dibangun. Dalam kebersamaan kepentingan pribadi harus dipinggirkan dan mendahulukan kepentingan umum. Kebersamaan tak memandang perbedaan suku, agama dan ras warna kulit.
Keturunan Cina dimanapun adalah sesama anak bangsa. Tidak boleh ada penekanan, pemerasan, penindasan, dan semua sikap non diskriminatif harus disingkirkan. Gie mangajak kita merajut masa depan. Selamat Imlek, Gie. “XIN NIAN MUNG EN, WAN SE RU YI.” Saya berjanji akan membantu penayangan film Gie di Lapas ini.

Gie adalah seorang pejuang pemikir. Keteguhan hati dalam berprinsip membuatnya semakin terasing. Seperti ditulis Dhakidae, “Gie telah ditarik dalam ketiadaan dan kesepian, bahkan jenazahnya pun ditolak ditanah kelahirannya. Suatu penolakan tandas, sehabis-habisnya! Tapi Gie tidak sendirian. Terhadap pembela keadilan selalu banyak dukungan. Arif Budiman, kakaknya, menuliskan perenungan “betapa kuat pun kekuasaan, seseorang tetap masih memiliki kemerdekaan untuk berkata “Ya” atau “Tidak”, meskipun cuma didalam hatinya.

2 Comments:

At 2:07 AM, Blogger Kwee Thiam Tjing said...

Betoel lagian sedari sept 2005 Opa kwee soedah poenja doea web di http://tjamboek28.multiply.com/ atawa kaloe maoe rada serioes di
http://djaminodjoliteng.blogspot.com/

seneng bisa djoempa toean kaloe poenja waktoe dioendang dengen seneng hati di web nja Opa Kwee

 
At 5:26 AM, Blogger SEKJEN PENA 98 said...

Memang banyak yang pergi
Tidak sedikit yang lari
Sebagian memilih diam bersembuyi
Tapi… Perubahan adalah kepastian
dan untuk itulah kami bertahan
Sebab kami tak lagi punya pilihan
Selain terus melawan sampai keadilan ditegakan!

Kawan… kami masih ada
Masih bergerak
Terus melawan!
www.pena-98.com
www.adiannapitupulu.blogspot.com

 

Post a Comment

<< Home